BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’ān
(ejaan
KBBI:
Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab
suci
agama Islam.
Umat Islam
percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah
yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun
iman,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat
Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh
Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
AL-QUR’AN
SEBAGAI MUKZIZAT DAN WAHYU
1.
Mukjijat
Al-Qur'an
Pengertian
dan Fungsi Mukjizat
Kata mukjizat diambil dari bahasa Arab a’jaza-i’jaz yang
berarti melemahkan atau menjadikan tidak mampu. Pelakunya (yang melemahkan)
dinamakan murjiz.1 Yang dimaksud dengan i’jaz dalam pembicaraan ini ialah
menampakkan kebenaran nabi dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu
Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka. Dan mukjizat adalah
sesuatau hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Kemudian di dalam i’jaz ini tidak akan ada buktinya, dalam
pengertian menyatakan adanya kelemahan dipihak lain, kecuali diiringi 3 faktor
sebagai berikut:
1. Adanya tantangan, atau tuntunan perlawanan.
1. Adanya tantangan, atau tuntunan perlawanan.
2.Adanya
upaya dari pihak penentang untuk melakukan berbagai tantangan.
3.Tidak
adanya halangan berlangsungnya suatu tantangan.
Mukjizat juga didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara
lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang
yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada orang-orang
yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal yang serupa, tetapi mereka
tidak mampu melayani tantangan itu. Dari definisi tersebut terlihal adanya
unsur-unsur yang terdapat pada mukjizat, yaitu:
1)
Hal
atau peristiwa luar biasa.
Yang dimaksud luar biasa adalah sesuatu yang berada diluar
jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya.
2)
Terjadi
atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi.
Sesuatu itu dinamakan mukjizat apabila datang dari seorang
yang mengaku nabi. Sesuatu luar biasa yang tampak pada diri seorang yang kelak
menjadi nabipun tidak dinamakan mukjizat tapi irshah, atau terjadi pada seorang
yang taat dan dicintai Allah maka dinamakan karamah. Karena nabi Muhammad SAW
adalah nabi terakhir, maka tak mungkin lagi terjadi suatu mukjizat sepeninggal
beliau walaupun kemungkinan keluarbiasaan bias terjadi dewasa ini.
3) Mengandung tantangan terhadap yang
meragukan kenabian.
Tantangan ini harus bersaman dengan pengakuan seorang
sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Disisi lain, tantangan ini harus
pula merupakan suatu yang sejalan dengan ucapan nabi.
4) Tantangan tersebut tak mampu atau
gagal dilayani.
Bila orang-orang yang ditantang berhasil melakukan hal
serupa, ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Jadi
kandungan tantangan harus benar-benar dipahami orang-orang yang ditantang.
Bahkan, untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanyan aspek kemukjizatan
masing-masing nabi sesuai dengan bidang keahlian umatnya.
Dengan demikian mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran
para nabi. Walaupun mukjizat dari segi bahasa berarti melemahkan sebagaimana
dikemukakan diatas, namun dari segi agama ia sama sekali tidak dimaksudkan
untuk melemahkan atau membuktikan ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat
ditampilkan oleh Tuhan melalui hamba-hamba pilihannya untuk membuktikan
kebenaran ajaran ilahi yang dibawa oleh masing-masing nabi.
2.
Al-Qur’an
Sebagai Wahyu
“Sesungguhnya banyak dari keajaiban
al-Qur’an yang mengantarkan aku ke dalam suatu bahasan. Ketika aku tekuni
bahasan itu, tak terasa aku telah menghabiskan waktu semalam suntuk, sementara
aku belum juga menemui kepuasanku”. Pernyataan ini dari Muhammad bin Ka’ab
al-Qarzhi, seorang pakar tafsir pada akhir pemerintahan ‘Ali bin Abi Thalib. Ia
keturunan Yahudi Bani Quraizhah. Nabi SAW meramalkannya dalam sebuah hadis,
“Akan lahir dari salah satu dua kabilah Yahudi (al-kahinaini), seorang
laki-laki yang mempelajari al-Qur’an dengan sungguh-sungguh dan tidak ada lagi
setelahnya orang yang segiat dia dalam mempelajari al-Qur’an” (Muhammad
Waliyullah an-Nadawi, 2005: 108). Al-Qur’an adalah lautan ilmu yang sangat luas
dan dalam. Semakin diperdalam, semakin banyak rahasia kehidupan yang ditemukan.
A.
Pengertian
Al-Qur’an dan ‘Ulum al-Qur’an
Secara bahasa, kata al-Qur’an
berarti “bacaan” atau “kumpulan”. Al-Qur’an bukan sekedar bacaan, tetapi juga
bahan kajian dan penelitian. Ini yang membedakan qiro-ah (reading)
dengan tila-wah (reciting). Al-Qur’an yang dibaca dengan akal
pikiran dinamakan Qiro-atul Qur’an, sedangkan al-Qur’an yang hanya
sekedar dibaca dengan lisan saja disebut dengan Tila-watul Qur’an. Ada
orang yang membaca al-Qur’an (qiro-ah) dan ada pula yang membacakannya (tila-wah).
Aktivitas membaca al-Qur’an bisa ditemui pada kelas-kelas pengajaran al-Qur’an.
Di kelas ini, semua ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan al-Qur’an diajarkan.
Pelajaran Biologi, misalnya, yang mengaitkan pengajaran makhluk hidup dengan
ayat-ayat al-Qur’an bisa dikatakan “membaca al-Qur’an”.
Sementara itu, kegiatan “membacakan
al-Qur’an” dapat dijumpai di acara-acara keagamaan, seperti peringatan hari
besar Islam, ritual pernikahan, dan sebagainya. Dalam kegiatan ini, ada orang
yang bertugas membacakan al-Qur’an, sedangkan orang lain hanya mendengarkan.
Dalam pengertian istilah, arti utama
al-Qur’an adalah firman Allah SWT. Namun, arti ini perlu ditambah beberapa
batasan yang terkait dengan al-Qur’an, yaitu.
- Memiliki kehebatan yang luar biasa hingga mampu melemahkan lawan yang hendak menandinginya.
- Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul yang paling akhir.
- Diterima Nabi SAW dari Allah SWT melalui perantaraan malaikat Jibril.
- Tertulis dalam lembaran-lembaran yang kemudian dibukukan. Dalam buku ini, penulisan al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihah dan berakhir dengan surat al-Nas.
- Umat Islam menerimanya dari Nabi SAW melalui banyak orang secara terus-menerus antar generasi yang tidak mungkin menimbulkan kedustaan.
- Membacanya dengan lisan (tilawah) maupun pikiran (qiro-ah) bisa dinilai ibadah.
- Menjadi pedoman hidup bagi umat manusia, sekaligus bukti atas kenabian Nabi Muhammad SAW.
- Kata-katanya berbahasa Arab atau bahasa lain yang diserap sebagai bahasa Arab.
Semula al-Qur’an adalah bacaan yang bisa ditulis dengan
kata-kata. Nabi SAW menerimanya dalam wujud bacaan, lalu dimintakan kepada para
sahabat untuk menulisnya. Wujud tulisan ini dibacakan lagi di hadapan Nabi SAW.
Setelah mendapat persetujuannya, baru tulisan tersebut dihafalkan dan
diajarkan. Dengan wujud tulisan, al-Qur’an bisa terjamin keasliannya serta
bersifat tetap meski kondisi masyarakat telah berubah dari masa ke masa. Dari
tulisan al-Qur’an tersebut, muncul ragam ilmu pengetahuan yang terkait
dengannya. ‘Ulumul Qur’an (Pengetahuan Tentang Al-Qur’an) adalah nama untuk
ragam ilmu pengetahuan tersebut. Ulumul Qur’an merupakan hasil kreasi manusia
yang didapatkan melalui ilham, sehingga ia bisa berubah. Berbeda dengan
al-Qur’an yang tidak bisa berubah sama sekali, karena ia adalah wahyu yang
tertulis.
B.
Perbedaan Wahyu dan Ilham
Meskipun secara bahasa tidak ada perbedaan antara wahyu dan
ilham, namun kedua adalah dua sisi yang membedakan kualitas manusia: antara
nabi dan bukan nabi. Ilham diberikan kepada setiap manusia, sedangkan wahyu
hanya diberikan kepada para nabi. Meski keduanya berasal dari Allah SWT, namun
cara penerimaannya yang berbeda. Ilham adalah penyusupan makna, pemikiran,
kabar, atau hakekat dalam hati lewat limpahan karunia batin dari Allah SWT.
Jalan untuk mendapatkan ilham bisa lewat usaha rohani maupun tanpa usaha (Yusuf
Qardhawi, 1997: 16).
Ketika menafsirkan surat al-Syams: 8, Quraish Shihab (2002:
XV: 297) menulis pemahaman tentang ilham, “Memang ilham atau intuisi datang
secara tiba-tiba tanpa disertai analisis sebelumnya, bahkan kadang-kadang tidak
terpikirkan sebelumnya. Kedatangannya bagaikan kilat dalam sinar dan
kecepatannya, sehingga manusia tidak bisa menolaknya, sebagaimana tidak dapat
pula mengundang kehadirannya. Potensi ini ada pada setiap insan, walaupun
peringkat dan kekuatannya berbeda antara seseorang dengan yang lain”.
Setiap manusia pasti mendapatkan pengetahuan mengenai hal
yang baik dan buruk berdasarkan akalnya. Pengetahuan ini merupakan ilham dari
Allah SWT. Kelanjutan pengetahuan dalam sikap dan perbuatan merupakan kehendak
manusia. Agar manusia cenderung berbuat baik dan meninggalkan perbuatan buruk,
maka Allah SWT mengutus para nabi yang telah mendapatkan wahyu dari-Nya. Dengan
demikian, Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karena memberikan ilham
kebaikan dan keburukan kepada manusia serta mengutus para nabi untuk memberikan
petunjuk kepada manusia menuju jalan yang benar.
Manusia dengan akalnya yang diberi ilham saja tidak cukup
untuk menapaki jalan kebenaran. Tidak jarang keinginannya menerobos kebenaran
yang diyakininya, sehingga kebenaran menjadi subyektif yang diukur sesuai
dengan keinginannya. Karena itu, wahyu sangat diperlukan bagi manusia. Wahyu
tidak hanya disampaikan, tetapi juga harus dilaksanakan oleh penerima wahyu.
Hanya manusia pilihan Allah SWT yang diberi wahyu. Dengan wahyu yang
diterimanya, para nabi wajib melaksanakannya sekaligus menjadi contoh dalam
pelaksanaannya.
Sesungguhnya, para nabi hanya manusia biasa, sebagaimana
manusia pada umumnya, sebagaimana ditegaskan oleh Surat al-Kahfi ayat 110 yang
artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian,
yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Al-Qur’an adalah hasil wahyu, bukan ilham. Ketika menerima
wahyu al-Qur’an, badan Nabi SAW terasa berat hingga keringatnya bercucuran.
Meski demikian, Nabi SAW senang menerimanya. Nabi SAW pernah tidak menerima
wahyu dalam jangka waktu yang lama. Nabi SAW sedih. Masyarakat pun
mengolok-olok Nabi SAW sebagai orang yang telah ditinggal Tuhannya. Akhirnya,
turunlah surat al-Dluha. Nabi SAW pun kembali bahagia. Terkadang Nabi SAW
berharap datangnya wahyu. Namun, kedatangannya pun tidak tepat. Padahal, Nabi
SAW diminta mengatasi permasalahannya. Demikian ini merupakan lika-liku
penerimaan wahyu oleh Nabi SAW. Bukan kehendak Nabi SAW, melainkan Kehendak
Allah SAW. Nabi SAW adalah manusia terakhir yang mendapatkan wahyu, selanjutnya
manusia hanya bisa mendapatkan ilham. Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang
mengumpulkan wahyu, berikutnya hanya buku yang ditulis berdasarkan ilham.
Selain wahyu Al-Qur’an, Nabi SAW juga mendapatkan wahyu di luar al-Qur’an yang
disebut hadis. Al-Qur’an juga telah menjadi dasar atas wahyu hadis ini, antara
lain: surat al-Najm ayat 3-4 dan surat al-Hasyr ayat 7.
C.
Perbedaan Wahyu al-Qur’an dan Wahyu Hadis
Wahyu
apapun yang didapatkan oleh Nabi SAW sumbernya berasal dari Allah SWT. Nabi SAW
tidak hanya berperan sebagai nabi dan rasul, tetapi juga sebagai keteladanan
bagi umat manusia. Karenanya, seluruh kehidupan Nabi SAW adalah wahyu Allah SWT
yang memungkinkan untuk diikuti oleh manusia. Seluruh kehidupan Nabi SAW ini dinamakan
hadis. Dalam diri Nabi SAW, Allah SWT menunjukkan keutamaan Nabi SAW sekaligus
kebiasaannya sebagai manusia biasa. Ketika Nabi SAW melakukan kesalahan
perhitungan dalam pola tanam pohon korma, maka hal ini juga menjadi pelajaran
bahwa Nabi SAW juga bisa salah. Hanya saja, kesalahan tersebut tidak membuat
kejatuhan moral Nabi SAW.
D. Beberapa Sebutan Lain untuk Al-Qur’an
Selain
nama al-Qur’an yang dikemukakan oleh al-Qur’an sebanyak 73 kali, al-Qur’an juga
memiliki nama-nama lain yang menunjukkan sisi fungsi al-Qur’an. Nama-nama
tersebut adalah
1.
Al-Tanzil, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah
diturunkan dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, bukan sesuatu yang
diajarkan, dikirimkan, maupun ditemukan. Akan tetapi, al-Qur’an dihujamkan ke
diri Nabi SAW dengan berangsur-angsur, mengingat hujaman itu terasa sangat
berat. Nama ini disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 142 kali, antara lain:
Luqman: 21, Muhammad: 2 dan 26, Saba’: 6, Fushshilat: 42, al-Haqqah: 43, dan
al-Ma-idah: 44.
2.
Al-Kitab, menunjukkan bahwa al-Qur’an wahyu yang
bisa ditulis dalam bentuk huruf dan kalimat. Hal ini terbukti dari apa yang
dibacakan Nabi SAW ternyata bisa ditulis dalam bentuk huruf, kata, dan kalimat.
Semua kitab yang diterima para nabi juga disebut dengan al-Kitab, karena melalui
proses dari bacaan ke tulisan. Al-Qur’an mengutarakannya sebanyak 74 kali,
antara lain: al-Baqarah: 2, al-‘Ankabut: 47,48, dan 51, Fathir: 29, al-Zumar:1,
dan Fushshilat: 3.
3.
Al-Furqon, menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan
ukuran tepat yang membedakan perkara yang benar dan yang salah. Kebenaran dan
kesalahan sangat subyektif. Seringkali seseorang mengklaim dirinya benar. Untuk
membuktikan klaimnya, ukuran yang bisa dipakai adalah al-Qur’an. Nama ini hanya
terdapat dalam ayat 1 surat al-Furqon.
4.
Al-Haqq, menunjukkan bahwa al-Qur’an memiliki
ajaran yang benar. Secara bahasa, al-Haqq berarti keadilan dan
pertengahan. Karenanya, kebenaran al-Qur’an tampak dari sisi pertengahan antara
dua hal yang ekstrem: memperhatikan kehidupan duniawi dan ukhrawi, mengemukakan
kepentingan individu dan sosial; tidak terlalu mengikat dan tidak terlalu
membebaskan; mengemukakan hak dan kewajiban, ada pahala dan dosa, dan
seterusnya. Nama ini disebut al-Qur’an sebanyak 61 kali, antara lain: Yunus: 84
dan 108, al-Nisa’: 170, al-Maidah: 83 dan 84, al-An’am: 5, dan Hud: 17.
5.
Al-Huda, menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan
petunjuk bagi manusia yang ingin meraih kebahagiaan dunia dan akherat.
Siapapun, baik muslim atau kafir, yang mempelajari al-Qur’an dan menjadikannya
petunjuk hidup di dunianya, maka ia akan menemukan kemajuan hidupnya. Siapapun
juga yang hidupnya menyalahi aturan al-Qur’an, maka ia akan menemukan
kesengsaraannya. Nama al-Huda dikemukakan oleh al-Qur’an sebanyak 47
kali, antara lain: al-nahl: 89, al-Qashash: 85, al-Taubah: 33, al-Kahfi: 55,
al-Baqarah: 97, al-Fath: 28, dan Ali ‘Imran: 138.
6.
Al-Bayyinah, menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan
bukti dari kenabian Nabi Muhammad SAW. Dalam agama, ada dua hal yang tidak
dapat dipisahkan, yaitu ajaran agama dan penyampai ajaran tersebut. Untuk
menjelaskan ajaran agama sesuai dengan karakter manusia, perlu nabi yang diutus
dari golongan manusia. Nama al-Bayyinah terdapat dalam al-Qur’an di 30
ayat, antara lain: al-Shaff: 6, al-Baqarah: 159, al-Nur: 34, 46, al-Ahqaf: 7,
al-Hijr: 1, dan Ghafir: 66.
7.
Al-Syifa’, menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah
obat, terutama obat hati, agar mendapatkan ketenangan jiwa. Nama ini
diungkapkan dalam surat: Yunus: 57, al-Isra’: 83, dan Fishshilat: 44.
8.
Al-Dzikr/al-Tadzkirah, menunjukkan bahwa
al-Qur’an menjadi peringatan bagi manusia mengenai dirinya: asalnya,
keberadaannya, kewajibannya, kehidupannya, tempatnya kembali, dan sebagainya.
Nama ini dikemukakan sebanyak 55 kali, antara lain: al-Hijr: 6 dan 9,
Fishshilat: 41, al-Anbiya’: 50, Thaha: 3, dan Shad: 8.
Selain
nama-nama di atas, masih banyak lagi nama-nama yang dilekatkan pada al-Qur’an.
Semua nama tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan fungsi al-Qur’an, sehingga
diharapkan orang yang mengetahuinya semakin tertarik dengan al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’ān
(ejaan
KBBI:
Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab
suci
agama Islam.
Umat Islam
percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah
yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun
iman,
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat
Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh
Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
1.
Mukzizat
Mukjizat juga didefinisikan oleh
pakar agama Islam, antara lain sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang
ditantangkan kepada orang-orang yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan
hal yang serupa, tetapi mereka tidak mampu melayani tantangan itu.
2. Wahyu
3.
Fungsi Al-Qur’an
Fungsi
al-Qur’an semakin banyak seiring dengan semakin terkuaknya kebenaran al-Qur’an.
Sebagai kitab Allah SWT, al-Qur’an tidak bertentangan sedikitpun dengan
kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan sebelumnya. Bahkan, al-Qur’an
memberitahukan adanya penyelewengan manusia atas kitab-kitab Allah SWT hingga
terjadi banyak perubahan. Untuk itu, al-Qur’an dinyatakan lebih unggul
dibanding kitab-kitab Allah SWT yang lain. Keunggulan ini dapat terlihat dari
perbedaan keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
ما هي استراتيجيات المضاربة في الأسهم؟
BalasHapusأصبح تداول الأسهم في البورصة من أكبر عوامل الجذب للمستثمرين في مختلف أنحاء العالم..